Monday, June 14, 2010

Menghilangkan Rokok Dari Masyarakat

Hilmi Abdul Halim / 207400462
JURNAL B / VI

Dunia hari ini dihadapkan pada suatu permasalahan serius mengenai pencemaran udara yang menghawatirkan. Polusi udara yang meracuni ruang hidup makhluk-makhluk di dunia ini membawa kita pada zaman kehancuran stabilitas ekosistem bumi secara global.
Lahirlah ungkapan global warming, dimana salah satu faktor utama yang menyebabkannya ialah polusi limbah-limbah beracun berbentuk zat udara. Beberapa kota di dunia ini menempati rengking terparah polusi udara, seperti halnya di Mumbai, India. Sehari anda bernafas di kota kumuh dengan jumlah pabrik yang cukup banyak itu, sama dengan menghabiskan 1 sampai 3 bungkus rokok kretek dalam sehari.
Kita tahu betapa banyaknya racun kimia yang tedapat dalam sebatang rokok saja, apalagi sampai berbungkus-bungkus seperti itu. Ini menunjukan betapa memprihatinkannya kondisi lingkungan ekosistem kita saat ini. Bukan tidak mungkin kita bisa menuntaskan polemik ini bersama-sama, bila memang kita konsisten pada apa yang seharusnya kita usung bersama itu.
Hal terkecil namun berpengaruh global, yang dapat kita mulai sebagai titik awal pengurangan polusi udara ini adalah melalui pengurangan intensitas konsumsi rokok.
Tidak akan pernah ada habisnya manusia membahas masalah ini selama manusia itu sendiri tidak menyadari betul akan dampak yang terjadi akibat ulah berjamaahnya tersebut. Rokok merupakan salah satu penyebab kematian tertinggi dewasa ini menurut survey para ilmuan saint.
Setidaknya ada 1 orang meninggal di setiap 6 detiknya karena racun yang menghinggapi setiap linting tembakau kering tersebut. Maka tidak salah bila alat penenang tersebut merupakan ancaman bagi kelangsungan hidup anak-anak kita, cucu-cucu kita dan seluruh generasi manusia kedepanya.
Mungkin arena alasan itu pula Majlis Ulama Indonesia sempat akan menetapkan rokok sebagai barang haram yang dikonsumsi manusia terutama umat islam. Cukup beralasan, dimana signifikasi rokok saat ini memang telah bergeser nilai menjadi sesuatu yang lumrah atau biasa saja.
Terlihat dari golongan pengkonsumsi rokok saat ini yang tidak hanya ditempati oleh orang-orang tua saja, bahkan hingga menyentuh kalangan balita, seperti yang terjadi di mojokerto dan indramayu baru-baru ini. Keterbatasan moral dan pengetahuan orang tua disekitarnya, menyebabkan seorang generasi muda bangsa tercatat dalam daftar hitam kehancuran bangsa kita di masa depan.
Faktanya, di kalangan mahasiswa islam hingga sebagian para ulama, asap rokok tidak pernah lekang terlihat mengepul dari mulit dan hidung mereka disela-sela perbincangan santai mereka di majlis formal maupun nonformal. Umat kita seakan seperti halnya objek pembodohan pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab. Dan mereka keukeuh untuk tidak menganggapnya sebuah tindakan bodoh yang merugikan orang-orang disekitarnya, maupun lingkungannya.
Dari orang-orang seperti mahasiswa lah miniatur bangsa kita dapat dianalogikan. Mereka dengan Bangga kita sebut sebagai agen of change disetiap kesempatan, namun sikap apatis skeptic mereka itu tidak sama sekali mencerminkan sebuah sikap bijak untuk merubah bangsa yang pincang ini.
Di Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati Bandung sendiri, jumlah perokok yang terdiri dari mahasiswa, dosen dan aparatur rektorat sendiri berkisar hingga 54% perokok aktif, 12% kadang-kadang dan sisanya merupakan korban dari para perokok disekitarnya.
Selain dapat menghabiskan persediaan umur hidup kita di dunia ini, rokok pun cukup merogok dalam-dalam dompet kita selama ini. Karena untuk membeli sebuah daun kering yang kita bakar dan kita hisap dengan nikmat itu, tidak semurah kelihatannya saja. Setiap helai tembakau bakar yang kita hisap tersebut sesungguhnya telah memberikan keuntungan tidak sedikit untuk para produsen rokok itu sendiri.
Kenyataannya, ketika beribu-ribu orang Indonesia difonis mati oleh rokok yang mereka hisap setiap saat itu. Seseorang sedang bersuka cita bermandikan uang yang melimpah di istananya. Seperti halnya Budi Hartono, pemilik PT Djarum tersebut dinobatkan sebagai orang terkaya di Indonesia mengalahkan Bakri dan konglomerat lainnya pada tahun 2010 ini. Tepat diantara kampanye anti tembakau sedunia beberapa hari lalu.
Itu menandakan bahwa dari bisnis menjual racun nikotin tersebut, ia mendapatkan uang atau kekayaan berlimpah ruah hingga seperti itu. Sedangkan kita lebih rela meracuni diri kita sendiri dan orang lain bahkan lingkungan hidup kita sendiri demi mencapai kepuasan yang didapat sesaat itu. Sungguh perbuatan yang sia-sia dan merugikan tidak hanya orang lain, bahkan dirinya sendiri.
Penghentian kebiasaan merokok memang bukanlah semudah membalikan telapak tanangan, banyak orang yang berusaha menghentikan kebiasaan tersebut dengan mendatangi para ahli kesehatan dimana ongkos pengobatan yang ditawarkan disini tidaklah semurah membeli rokoknya. Walau demikian, sebagian besar dari mereka tetap tidak dapat menghentikannya begitu saja.
Sungguh memprihatinkan memang, dikala taraf hidup masyarakat kita yang masih tertatih-tatih memijaki kenyataan dunia global yang begitu membelit, sebagian besar malah menambah berat beban hidup mereka sendiri dengan menghisap racun rokok. Selain menghancurkan masa depan generasi muda dan lingkungan kita, mereka pun secara perlahan menurunkan daya serap ekonomis mereka sendiri dengan terus menerus membuang uang mereka untuk lintingan rokok tersebut.
Jadi apa yang harus kita lakukan?
Pertama, peran media massa yang ditunggangi pemerintah sebagai pelindung masyarakat hendaknya mensosialisasikan bahaya dari rokok itu sendiri, memberikan label larangan yang bila perlu semakin diperbesar dan ditambahi keterangan pelanggaran pidana bila sampai dikonsumsi oleh anak dibawah umur.
Kedua, Majlis Ulama Indonesia (MUI) yang selama ini menentang peredaran rokok yang semakin memprihatinkan ini seharusnya dapat dengan tegas memberikan label “mubah” atau bila perlu ditambah dengan keterangan akan kemadorotan bila mengkonsumsi barang tersebut.
Semua ini tampak tabu bila dilihat dari sudut pandanang masyarakat Indonesia, namun tidak demikian dengan Negara-negara luar yang telah memberlakukan penertiban konsumsi rokok di ranah public dan pada umur yang cenderung masih remaja ini. Dengan demikian, nilai dari rokok itu sendiri akan secara otomatis menurun di masyarakat. Rokok yang kini menghinggapi di hampir semua bibir penduduk Indonesia, kelak akan hanya menjadi pengisi salah satu spot di museum saja sebagai kenang-kenangan dari masa-masa kebodohan masyarakat Indonesia.

Tuesday, December 16, 2008

KESENJANGAN PRILAKU KULTURAL MASYARAKAT INDONESIA

1. Latar Belakang Masalah


Negara kita yang Bhineka ini sangat menyimpan potensi pertikaian antar individu yang terkelompok-kelompokkan secara idiologis dan politis. Pengelompokan masyarakat Indonesia serupa itu membawa akibat yang luas lagi mendalam di dalam seluruh pola hubungan-hubungan sosial di dalam masyarakat Indonesia: di dalam hubungan-hubungan politik, ekonomi, hukum, kekeluargaan dan sebagainya.

Hal ini cocok dengan karakteristik sebagai sifat dasar dari masyarakat majemuk yang diungkapkan oleh Van Den Berghe, yaitu:

1. Terjadi segmentasi ke dalam bentuk kelompok-kelompok yang sering kali memiliki kebudayaan atau lebih tepat sub-kebudayaan yang berbeda satu sama lain.

2. Memiliki struktur sosial yang terbagi-bagi ke dalam lembaga-lembaga yang bersifat non-komplementer.

3. Kurang mengembangkan consensus di antara para anggota masyarakat tentang nilai-nilai sosial yang bersifat dasar.

4. Secara relatif seringkali terjadi konflik di antara kelompok yang satu dengan yang lain.

5. Secara relatif integrasi sosial tumbuh di atas paksaan (coercion) dan saling ketergantungan di dalam bidang ekonomi.

6. Adanya dominasi politik oleh suatu kelompok atas kelompok-kelompok lain.

Dari kemajemukan tersebut, manusia terbagi-bagi dalam beraneka macam golongan yang ditengahi oleh persaingan dan kompetisi yang hanya mengedepankan hal-hal yang lebih bersifat subjektif. Oleh karena itu, terjadilah sebuah kesenjangan prilaku cultural pada masyarakat Indonesia yang semakin meruncing dan berpotensi kepada bentuk pertikaian dan konflik kultural.


2. Konsep Kesenjangan


Pemahaman terhadap konsepsi kesejahteraan menuntut tidak hanya representasi intensitas agregat, tetapi juga representasi distribusional kesejahteraan antarkelompok masyarakat atau antardaerah. Representasi distribusional merupakan muara dari persoalan yang mendasar, yaitu keadilan. Kesenjangan tidak lain adalah suatu representasi distribusional tersebut.

Konsep tentang kesenjangan mempunyai kemiripan dengan konsep tentang perbedaan. Seseorang mempunyai tinggi tubuh yang berbeda dengan seseorang yang lain. Fakta menunjukkan adanya perbedaan tinggi tubuh. Pemahaman terhadap perbedaan seperti itu relatif bersifat netral dan tidak terkait dengan moral pemahaman. Berbeda halnya kalau membicarakan perbedaan kekayaan dari kedua orang itu, maka umumnya terdapat inklinasi moral tertentu. Pemahaman terhadap perbedaan kekayaan mempunyai implikasi moral dalam konteks hubungan sosial, misalnya siapa yang harus lebih toleran, bagaimana pembebanan kewajiban sosial pada tiap orang itu, dan sebagainya.

Pembahasan kesenjangan menghendaki pendefinisian kelompok-kelompok dalam

masyarakat. Pendefinisian kelompok yang sejak awal sering digunakan adalah kelompok pendapatan. Masyarakat dibedakan menurut kelompok-kelompok 10 persen populasi (decile), mulai dari kelompok 10 persen populasi berpendapatan terendah, kelompok 10 persen populasi berikutnya dengan pendapatan yang lebih tinggi, dan seterusnya. Cara pengelompokkan lain adalah berdasarkan tingkat pendapatan: 40 persen populasi dengan pendapatan terendah, 40 persen berikutnya dengan tingkat pendapatan menengah, dan 20 persen populasi yang berpendapatan tinggi.

Selain pengelompokkan masyarakat berdasarkan tingkat pendapatan, pengukuran kesenjangan juga menggunakan daerah sebagai basis pengelompokkan. Pengelompokkan berbasis daerah tersebut mempunyai implikasi pengamatan kesenjangan masyarakat antardaerah. Berbagai cara pengelompokkan lain yang telah biasa digunakan adalah kelompok masyarakat wilayah desa dan masyarakat wilayah kota. Selain itu, saat ini juga berkembang perhatian terhadap pengukuran kesenjangan berbasis gender.

Kondisi kesenjangan kesejahtaraan umumnya dinyatakan dalam bentuk indicator kesenjangan. Berbagai studi pada umumnya menggunakan kurva distribusi Lorenz dan indeks kemerataan distribusi Gini. Berbagai studi lain menggunakan indicator kesenjangan antardaerah yang pertama kali diperkenalkan oleh Williamson. Penghitungan indeks Gini dilakukan berbasis pada kurva distribusi Lorenz, sedangkan indeks Williamson berbasis kepada angka varian dalam distribusi statistik.

Kesenjangan kesejahteraan masyarakat antarkelompok maupun antardaerah selalu terjadi. Persoalannya adalah apakah kesenjangan tersebut menurun atau menaik sejalan dengan perubahan waktu atau kenaikan rata-rata kesejahteraan? Lebih lanjut, apakah kesenjangan tersebut menyebabkan hal-hal yang tidak bisa ditolerir lagi? Secara teoritik kesenjangan dipengaruhi oleh tiga hal, yaitu faktor alam, faktor kultural, dan faktor struktural (kebijakan). Teori-teori mengenai proses kesenjangan pada umumnya menekankan kepada peranan satu atau lebih faktor tersebut.


3. Penelitian Kesenjangan


Rangkaian berbagai penelitian tentang kesenjangan ditandai oleh tonggak-tonggak temuan. Kuznets (1954) tercatat sebagai salah satu peneliti awal dalam meneliti kesenjangan. Ia meneliti kesenjangan di berbagai negara secara cross-sectional dan menemukan pola U terbalik. Kuznets menyimpulkan bahwa pendapatan rata-rata perkapita pada awal perkembangan negara masih rendah, dan tingkat kesenjangan juga rendah.

Ketika pendapatan rata-rata naik, maka kesenjangan juga meningkat. Kemudian ketika pendapatan rata-rata naik lebih tinggi, maka kesenjangan akan turun kembali. Penelitian yang dilakukan oleh Williamson (1966) menekankan pada kesenjangan antarwilayah di dalam negara. Williamson menghubungkan kesenjangan pendapatan ratarata antarwilayah dengan berbagai faktor termasuk tingkat urbanisasi suatu wilayah.

Di samping pola dan faktor penentu kesenjangan, peneliti juga mengamati proses terjadinya kesenjangan. Myrdal (1957) melakukan penelitian tentang sistem kapitalis yang menekankan kepada tingkat keuntungan bagi suatu wilayah yang memberikan harapan tingkat keuntungan tinggi akan berkembang menjadi pusat-pusat perkembangan kesejahteraan. Di sisi lain, wilayah-wilayah dengan harapan tingkat keuntungan yang rendah tidak akan berkembang sehingga terjadi kesenjangan. Teori efek polarisasi menjelaskan kesenjangan antarwilayah yang meningkat karena berpindahnya faktor produksi dari wilayah yang terbelakang ke wilayah yang lebih maju. Sebaliknya terdapat teori yang menjelaskan proses yang berlawan arah, yaitu teori efek penetesan yang menjelaskan penyebaran faktor produksi dari suatu wilayah yang telah maju ke wilayah yang belum maju karena di wilayah yang telah maju terjadi eksternalitas negatif yang makin besar.

Dalam penelitian lain, kesenjangan juga dikaitkan dengan faktor alam, yaitu tingkat kekayaan sumber daya alam suatu wilayah. Sedangkan penelitian lain menyebutkan bahwa urbanisasi, sebagai akibat dari kesenjangan perdesaan dan perkotaan, merupakan proses menuju suatu bentuk tertentu dari keseimbangan. Guna memberikan gambaran perkembagan terakhir tentang penelitian kesenjangan, berikut ini disampaikan tinjauan singkat dari beberapa hasil penelitian.

Zhicheng Liang (2005) menjelaskan mengenai pola hubungan perkembangan sector keuangan dan pertumbuhan ekonomi yang berimplikasi pada disparitas antarwilayah di China khususnya kesenjangan wilayah pesisir dan daratan. Penelitian ini berusaha mengeksplorasi bagaimana keadaan perekonomian makro di China pasca diberlakukannya dualisme sistem ekonomi China (lebih bersifat kapitalis untuk wilayah pesisir dan sosialis untuk wilayah daratan). Kesimpulan dari penelitian ini menunjukkan bahwa perkembangan sektor keuangan secara signifikan meningkatkan pertumbuhan ekonomi wilayah pesisir, tapi tidak memberi dampak pada wilayah daratan, dan fakta ini diperburuk oleh lemahnya pertumbuhan sektor keuangan di wilayah daratan yang secara kontekstual semakin memperburuk disparitas antara wilayah pesisir dan wilayah daratan di China. Penelitian tersebut menggunakan data Produk Domestik Regional Bruto provinsi di China, dan melihat tingkat kesenjangan berdasarkan indeks Gini.

Salvadore Barrios dan Eric Strobl (2006) menuliskan laporan penelitian mengenai hubungan antara kesenjangan antarwilayah dengan pembangunan ekonomi. Penelitian ini menggunakan data Produk Domestik Bruto di negara-negara Uni Eropa yang diolah dengan metoda ekonometrik untuk menjelaskan pola hubungan antara PDB dengan kesenjangan antarwilayah yang berbentuk kurva huruf U terbalik. Hasil penelitian ini memberikan bukti kuat bahwa untuk negara-negara yang tergabung dalam Uni Eropa memilki pola kesenjangan wilayah yang berbentuk kurva huruf “U” terbalik. Temuan ini sejalan dengan temuan Kuznets. Temuan lain dari penelitian ini membuktikan bahwa variabel yang berkaitan dengan kebijakan penggabungan ekonomi negara Uni Eropa antara lain struktur anggaran negara dan desentralisasi fiskal dan mekanisme redistribusi jaminan sosial memberi dampak terhadap kesenjangan antarwilayah.

Penelitan unik yang dilakukan oleh Diego Andre de Assumcao (2005) mencoba mengeksplorasi peran pengetahuan masyarakat sebagai faktor utama dalam mengurangi kesenjangan antarwilayah di Brazil. Dalam laporan penelitian, mereka memaparkan berbagai alternatif untuk sosialisasi pengetahuan kepada masyarakat melalui berbagai saluran atau kanal informasi. Penelitian ini juga dikaitkan dengan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Brazil. Tujuan Pembangunan Milenium tersebut digunakan sebagai indikator untuk memperlihatkan perkembangan Brazil dalam peningkatan kesejahteraan dan pengetahuan masyarakat untuk mengurangi kesenjangan wilayah. Penelitian kesenjangan antardaerah di India yang relatif baru dilakukan oleh B. Bhatacharya dan A Sakthivel (2004). Penelitian ini menganalisis kesenjangan wilayah yang terjadi di India. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data Produk Domestik Bruto, Produk Domestik Regional Bruto, dan pendapatan perkapita sebagai dasar analisis statistik deskiptif untuk menjelaskan kinerja pertumbuhan wilayah dan perubahan struktur wilayah-wilayah di India. Penelitian ini menghasilkan temuan bahwa pembangunan industri di India berjalan secara cepat dan terpusat di wilayah-wilayah dengan infrastruktur memadai. Pola pembangunan seperti ini semakin mempertajam kesenjangan antarwilayah di India. Temuan lainnya adalah adanya korelasi negatif antara pertumbuhan penduduk dan pertumbuhan pendapatan. Hal ini secara berantai menimbulkan suatu masalah yang simultan, yaitu beban wilayah yang berat dengan jumlah penduduk tinggi dan pendapatan yang rendah sehingga mendorong migrasi ke wilayah lain yang lebih maju. Di sisi lain, masalah yang terjadi di wilayah tujuan adalah tidak meratanya tingkat pendidikan yang menyebabkan timbulnya masalah sosial pengangguran yang mengarah pada meningkatnya kriminalitas.

Penelitian lain yang relevan dengan desentralisasi dilakukan oleh Christian Lessmann (2006). Ia meneliti mengenai hubungan desentralisasi fiskal dengan kesenjangan wilayah. Penelitian ini mengunakan beberapa data statistik ekonomi 17 negara OECD yang diolah melalui analisis statistik deskriptif. Penelitian ini menghasilkan temuan bahwa Negara dengan tingkat desentralisasi fiskal yang tinggi memiliki kesenjangan wilayah yang rendah. Kewenangan dan otonomi lokal terhadap kapasitas fiskal wilayah yang besar akan dapat mengurangi kesenjangan. Namun, hasil temuan ini hanya berlaku bagi Negara-negara maju saja. Bagi negara berkembang dan miskin, desentralisasi mungkin akan menyebabkan semakin tajamnya kesenjangan antarwilayah. Hal ini disebabkan masih tingginya tingkat korupsi dan lemahnya kapasitas pemerintah daerah dalam pengelolaan sumber daya dan pelayanan publik.


4. Kritik Penulis


Kesenjangan seharusnya tidaklah mesti terjadi di dalam kemajemukan cultural bangsa kita ini. Bilasanya semua aspek yang menyangkut kepentingan public dapat diprioritaskan tanpa harus mementingkan perut sendiri. Keanekaragaman adalah sebuah anugrah dari Allah SWT. Kemajemukan ini seyogyanya dapat membuat kita saling melengkapi satu sama lainnya. Perbedaan merupakan suatu potensi kesatuan yang kokoh bila masing-masing pihak menjalin kerjasama yang harmonis untuk saling mengisi kekosongan dan tugasnya masing-masing dalam berserikat. Apa yang menyebabkan semua konsep persatuan ini terjadi?.

Semuanya kembali kepada apa yang disebutkan sebagai naluri. Bakat bersosial yang kita miliki sejak dilahirkan ke dunia ini. Setiap individu memiliki kecenderungan untuk merbagi dan meminta. Perasaan saling membutuhkan inilah yang seharusnya dijunjungtinggikan ke permukaan. Kita hidup dalam sebuah rangkaian struktur sosial yang di dalamnya terdapat suatu hubungan yang mau tidak mau akan terjalin.

Satu perasaan yang membuat kita saling membutuhkan satu sama lain. Susunannya antara lain: pada saat suatu kebutuhan kita dapat dibantu oleh orang lain. Terbersik dalam hati kita untuk melakukan hal yang sama sebagai tanda jasa pada orang yang telah menolong kita. Atau setidaknya ada suatu obsesi untuk dapat membantu orang lain yang membutuhkan sesuatu seperti saat kita mengalami kekurangan sepertinya dan terbantu dengan orang lain yang berkelebihan.

Ada pun hal lainnya ialah perasaan seiman pada diri kita yang merupakan hal terdasar dari suatu pemikiran dan idiologi seseorang sesuai dengan apa yang Tuhan kita perintahkan kepada setiap hambanya ini. Prilaku kecintaan pada Sang Pencipta merupakan hal yang mendasari segala prilaku kita dalam bermasyarakat pada khususnya. Perintah-Nya untuk saling mengasihi sesama makhluknya inilah yang membuat para hambanya dituntut untuk mendalami sebuah hubungan yang harmonis diantara para individu dari masyarakat yang tentu majemuk.


5. Referensi:

1. P o l a K e s e n j a n g a n A n t a r d a e r a h

Direktorat Kewilayahan 1, Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah.

2. Dr. Nasikum. 1995. Sistem Sosial Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

3. Sadily, Hasan. 1993. Sosiologi Untuk Masyarakat Indonesia. Jakarta: PT Pineka Cipta.

4. Al Muhasibi, Abu Abdillah. 2006. Hidup Tanpa Derita. Bandung: Hikmah